Karena Blogger Nu Gaduh Bandung

2

July 5, 2015 by ahmadnajip

Ada satu pertanyaan mengelitik yang saya lontarkan kepada Ika Rahma, istri saya, saat mendapati daftar peserta “Nongkrong Bareng Blogger Bandung” di Piset Square Mall pada Jumat sore, 3 Juli 2015. “Saya harus ngisi atau nggak?” ujar saya. Jawabannya sungguh provokatif, “Mau datang sebagai blogger atau suamiku?”

Bang Aswi membacakan beberapa contoh tulisan blogger. Saya kenal kali pertama sebagai pengurus FLP, lalu jadi kolega sekantor di sebuah penerbitan, kini bersua sebagai nu gaduh Bandung. (DOK. PRIBADI)

Bang Aswi membacakan beberapa contoh tulisan blogger. Saya kenal Bang Aswi kali pertama sebagai pengurus FLP, lalu jadi kolega sekantor di sebuah penerbitan, kini bersua sebagai nu gaduh Bandung. (DOK. PRIBADI)

Jlebbb. Jawaban plus pertanyaan ini langsung menguapkan rasa lapar yang tertahan sejak azan Subuh. Tanpa ba bi bu lagi saya langsung menulis nama, alamat blog, email, dan lain-lain. Saya juga menggerutu dalam hati, “Gini-gini gua blogger atuh euy!” Ya, kalau batasan definisi blogger itu yang punya blog atau sekurang-kurangnya pernah nulis di blog, sudah pasti saya blogger. Paling tidak saya pernah menulis di blog saya di sini atau juga di sini. Tulisan saya sendiri sebenarnya lebih menumpuk di sini, website berita yang khusus menyajikan tema kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga.

Tapi, kalau ada embel-embel kudu rajin ngeblog, tentu saja saya harus rela melepas predikat blogger, huhuhu… Terlebih melihat interval dari satu tulisan ke tulisan lain nyaris menyamai gerakan milleniarisme dalam teori Ratu Adil, sungguh saya durhaka kepada para blogger. Sungguh tak pantas saya menyandang gelar blogger. Nah, kalau saya sekarang menulis, itu semata-mata untuk menebus dosa yang lalai menunaikan tugas ngeblog. Bukan untuk lomba, bukan untuk kaos, ehem

Terselip di antara blogger itu seperti datang terlambat ke sekolah kala SMA dulu. Ditunggu guru piket di gerbang sekolah seketika memantik niat, “Saya tak akan terlambat lagi. Saya malu. Saya bisa (tepat waktu lagi).” Di Piset Mall, diam-diam hati ngomong sendiri, “Saya harus ngeblog lagi. Saya malu (gak ngeblog lagi). Saya bisa (ngeblog lagi).” Tuh, kan sama. Yang membuat saya agak bingung adalah menemukan pemantiknya. Apa yang harus saya tulis? Gorengan? Ayam goreng renyah? Kaos?

Setelah menghabiskan tiga potong gorengan dan sekotak ayam goreng renyah komplet dengan nasi putih dari Hawaii Fried Chicken, saya pun memutuskan menulis tentang kaos. Tak rumit memilih desain mana yang harus dipilih. Sebelumnya saya memang pernah menemukan kaos Gurita di lemari. Tulisannya sombong, “Sumpah aku ini blogger.” Seperti butuh sumpah untuk membuktikan yang pakai kaos itu blogger. Kala lain saya menemukan desain dengan tulisan “Sumpah aku pernah kurus” yang ditunjukkan Gubernur Heryawan dalam sebuah pameran. Dugaan saya, banyak tulisan lain berisi sumpah serapah konyol menggemaskan itu. Dugaan saya pasti benar. Sing sumpah!

Saya suka kaos ini. Sumpah! (DOK. PRIBADI)

Saya suka kaos ini. Sumpah! (DOK. PRIBADI)

Sore itu saya menemukan satu tulisan lagi dari Gurita: Nu gaduh Bandung. Lagi-lagi “kesombongan” kreatornya berhasil mengerutkan kening saya yang mulai keriput. Naon sih maksudnya? Pertanyaan saya langsung mendapat jawaban tak lama kemudian. Seorang emak blogger, sebut saja namanya Mawar, eh Mak Meti, menjelaskan asbabun nuzul klaim nu gaduh Bandung. Kata emak Mawar tadi, pemilik sesungguhnya Kota Kembang itu ya para blogger. Mereka yang berencana berkunjung ke Bandung pada umumnya mencari informasi terlebih dahulu tentang kota ini. Kalau tamu-tamu Bandung tersebut mencari tahu via Mbah Google, maka di sana bakal bertebaran rupa-rupa ulasan kota dari sudut pandang para blogger. Cuap-cuap bloggerwan-bloggerwati itulah yang kelak menjadi acuan destinasi para pendatang. Tentang apa saja. Kuliner, fesyen, wisata, tempat unik merupakan sebagian kecil dari yang diberikan blogger untuk netizen.

Bagi saya, klaim blogger nu gaduh Bandung merupakan sebuah pandangan baru di tengah wabah yang menjangkit Bandung beberapa waktu terakhir ini. Seperti koor dalam paduan suara, ada suara tunggal untuk menjawab pertanyaan siapa pemilik Bandung. Jawabannya merujuk pada satu nama: Ridwan Kamil. Cowok keren yang jadi wali kota Bandung ini sukses menyulap sejumlah tempat menjadi ruang publik yang nyaman dan menarik. Meski Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, dipilih satu paket dengan Wakil Wali Kota Bandung Oded M Danial, namun nyaris tak ada yang menghitung orang nomor dua di Parijs van Java ini. Bahkan, portal resmi milik Pemerintah Kota Bandung tak menampilkan profil wakil wali kota. Hanya wali kota yang tampil di sana. Ya, hanya wali kota.

Karena itu, saya melihat ada semacam petisi dari para blogger untuk Kang Emil. Kalau dibunyikan lebih kurang bunyinya begini, “Saya juga punya saham untuk Kota Bandung.” Dengan kata lain, bukan cuma Emil yang punya Bandung. Masyarakat juga pemilik resmi Kota Bandung. Blogger juga pemilik Kota Bandung. Blogger (juga) nu gaduh Bandung. Saya setuju dengan klaim kaos Gurita. Juga, saya ingin beli punya kaosnya, hehehe…

Trust Real Friends and Virtual Strangers The Most

Klaim Gurita ihwal kepemilikan Bandung ini mengingatkan saya pada sebuah survei marketing yang dilakukan Nielsen Company pada 2009 lalu. Kali pertama saya mengetahui saat mengikuti sebuah kelas marketing yang dihelat Markplus, lembaga konsultan marketing yang didirikan Hermawan Kartajaya. Berikutnya saya menemukan simpulan Nielsen ini hilir mudik di belantara maya.

Riset yang dilakukan di 50 negara ini menyimpulkan siapa atau apa yang paling mempengaruhi keputusan seseorang untuk membeli sebuah produk. Jawabannya mencengangkan: teman. Ternyata, 90 persen konsumen di dunia mempercayai rekomendasi teman untuk membeli sebuah produk. Simpulan ini seperti oase di tengah keringnya interaksi seorang dengan seorang lainnya. Boleh jadi manusia modern sudah sangat acuh tak acuh, bahkan cenderung asosial. Tapi soal memilih sesuatu, manusia membutuhkan teman.

Bertengger di urutan kedua adalah pendapat atau opini orang lain yang dituangkan secara online. Ulasan-ulasan yang bertebaran di jagat maya ini rupanya menentukan 70 persen konsumen global untuk memilih atau membeli sebuah produk. Pendapat-pendapat ini mengalahkan media-media mainstream seperti televisi, koran, majalah radio, atau bahkan iklan raksasa di pinggir jalan sekalipun. Pendapat atau ulasan seseorang terhadap sebuah barang atau tempat itu rupanya begitu dahsyat dampaknya. Terlebih dengan makin lengketnya manusia dengan gawai atau gadget, maka saya menduga semakin kuat pula pengaruh tebaran review produk.

Data agregat hasil survei konsumen Nielsen Company. (NIELSEN.COM)

Data agregat hasil survei konsumen Nielsen Company. (NIELSEN.COM)

Kalau sudah begitu, maka klaim blogger yang mendeklarasikan diri –melalui tulisan kaos– sebagai nu gaduh Bandung menjadi shahih adanya. Apalagi, bloggerwan-bloggerwati ini bisa memerankan dua matra sekaligus. Pertama sebagai teman, kedua sebagai pemberi opini online tadi. Para blogger menjadi teman-teman yang virtual pemberi rekomendasi melalui laman maya.

Well, untuk sebuah momentum nongkrong bareng yang mengingatkan khittah seorang blogger tadi, menjadi fardlu ain bagi saya untuk berterima kasih kepada kumpulan blogger Bandung dan kaos Gurita. Selain gokil, Gurita ini inspiratif banget. Setuju dengan semua info dan klaim yang tertulis dalam kemasan kaos Gurita. Bahwa konsumen Gurita itu ternyata “orang yang gendut, item, jelek, dan nggak ada kerjaan”, saya setuju saja. Toh saya belum pernah belanja di Gurita. Anggap saja saya kebalikannya: langsing, putih, kasep, dan sibuk sekali. Saya serius. Barangkali satu-satunya yang salah dalam kemasan Gurita adalah kalimat “Biasanya, yang punya tas ini sudah pernah belanja ke Gurita. Soalnya tas ini nggak diperjualbelikan.”

Cie-cieee.. Mau dong isinya :) (DOK. PRIBADI)

Cie-cieee yang pernah belanja. Mau dong isinya 🙂 (DOK. PRIBADI)

Kalau ada yang iseng bertanya dari mana saya dapat tas Gurita? Saya sengaja mengambilnya dari lantai setelah isi tas ini diabaikan para pemenang ngeblog on the spot saat Kumpul Bareng Blogger Bandung di Piset Square Mall. Malam ini saya mengeluarkannya dari ransel dengan mata lelah setelah tadi malam mengahabiskan waktu dengan berendam di air panas Darajat, Garut, dan menyetir dalam keadaan kurang tidur. Selamat tidur, para blogger. Selamat tidur, nu gaduh Bandung!

2 thoughts on “Karena Blogger Nu Gaduh Bandung

  1. […] 1. Ade Truna – Berbuka Puasa Bareng Kaos Gurita Bandung 2. Tian Lustiana – Buka Bareng Blogger Bandung 3. Efi Fitriyyah – Basreng Hangat Blogger Bandung Mengalahkan Medsos 4. Winursih UwienBudi – Kopdar Blogger Bandung Bareng Gurita 5. Ummi Bindya – Bukber dengan Tema Basreng 6. Dey – Sumpah, Aku Norak! 7. Erry Andriyati – Ketika Mahluk Norak Berkumpul! 8. Sandra Nurdiansyah – Apa yang Beda di Malam Nuzulul Qur’an 2015? 9. Ahmad Najip – Karena Blogger Nu Gaduh Bandung […]

  2. ara kanaya says:

    Cara menjadi anggotanya bagaimana trimakasih

Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.