Ari tak Mampu Beli Buku Tulis

8

July 17, 2008 by ahmadnajip

Namanya Ari. Kalau lagi marah, ibunya manggil “Andriaaaaaan!!!”. Suaranya terdengar sampai dapur rumah kontrakkanku. Dia memang tetanggaku, batasnya hanya tembok tipis. Kamar mandi dan kamar tidurnya hanya berbatas tembok dengan dapur dan ruang tamuku. Batas yang sama juga berlaku dengan rumah neneknya, juga seorang ibu setengah baya yang hidup seorang diri di samping petak rumahnya. Ema adalah nama ibu tadi. Dia satu pekarangan denganku. Kalau pagi, motor hitamnya menghalangi motorku yang akan keluar menuju tempat kerjaku di Jalan Pasirwangi, Sorkarno Hatta, Bandung.

Aku hampir tujuh bulan bertetangga dengan Ari. Saat aku mengisi rumah kontrakkan, Ari masih kelas dua SD. Sejak Senin kemarin (14 Juli 2008), Ari resmi naik kelas. Dia sekolah di SD Lembang, entah SD Lembang berapa. Letak sekolahnya berdampingan dengan sebuah minimarket di tikungan Lembang, tidak jauh dari kantor Polsek Lembang.

Sehari menjelang duduk di kelas baru, secara tidak sengaja istriku mampir untuk menitipkan cucian yang tertambat di tali rafia di pekarangan. Aku menunggu istriku kembali cukup lama. Ternyata dia ngobrol dengan Teh Imas, mamanya Ari. Kepada istriku, Teh Imas curhat mengenai sekolah anaknya, ya si Ari tadi. Dia rupanya kebingungan menyambut esok pagi. Masalahnya sederhana (tapi begitu pelik bagi seorang Imas). Hingga beberapa jam sebelum berangkat sekolah, Ari ternyata belum punya buku tulis. Ya, buku tulis. Bukan buku pelajaran yang ribut ramai di media massa. Aku tidak membayangkan kalau dia sampai membaca Kompas edisi Senin (15 Juli 2008). Bisa jadi, Imas yang sehari-hari bermain bersama anak bungsunya, Icha nama panggilannya, menjadi bagian dari daftar orangtua yang kaget dengan biaya pembelian buku pelajaran. Biaya yang harus dikeluarkan di beberapa sekolah mencapai Rp 1 juta per semester.

Apalagi, “Program buku digital yang dicanangkan pemerintah dengan maksud menekan harga buku kenyataannya belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selain sulit diunduh dari internet, hampir tidak ada sekolah yang menggunakan buku digital itu. Bahkan, banyak kepala sekolah dan guru yang belum mengetahui adanya buku digital itu.”

Bagi keluarga Ari, membeli buku pelajaran adalah sebuah kewajiban nan berat. Maklum, buku tulis saja tidak bisa terbeli. Bapaknya hanya tukang kayu. Dia bekerja di sebuah workshop furniture. Penghasilannya bergantung kepada jumlah unit yang berhasil dia kerjakan. Beberapa kali Teh Imas mengeluhkan tidak adanya lauk untuk makan sehari-hari. “Bade kumaha deui atuh, Ari jeung Icha mah teu ngarti nanaon. Lamun nu lain jajan, manehna oge minta jajan (Mau bagaimana lagi, Ari dan Icha tidak mengerti apa-apa. Jika orang lain jajan, mereka juga minta jajan).”

Ya, keluarga Teh Imas memang dipaksa survive. Masalah buku tulis bisa saja selesai keesokan harinya setelah istriku membawakannya dari warung kami di depan kampus UPI. Tapi, masalah belum selesai. Ada banyak Ari di sekitarku. Daerahku terletak di antara Bandung dan Lembang. Seperti halnya Bandung Utara lainnya, daerah ini dikenal sebagai tujuan wisata. Konsekuensinya, harga kebutuhan hidup menjadi mahal. Padahal, sebagian besar warganya masih menggantungkan diri pada pekerjaan agraris. Dan, sebagian besar dari mereka hanya bekerja di tanah orang lain. Juga, nyaris seluruh lahan di daerahku sudah dikusai pemodal dari Jakarta.

Pada hari yang sama, aku juga mendengar keluhan dari menantu pemilik warungku. Teh Ida namanya. Umurnya sekitar 30-40 tahun. Aku tidak tahu persis. Mukanya masih tampak muda. Padahal dia sudah memiliki tiga anak dari tiga suami yang berbeda. Dari pernikahan terakhirnya dikaruniai seorang anak perempuan. Intan namanya. Anaknya lincah. Usianya 4,5 tahun, saatnya masuk taman kanak-kanak atau TK.

Siang itu, Teh Ida curhat mengenai keinginannya memasukkan Intan ke TK. Sayangnya, keinginnya tak bisa kesampaian. Teh Ida tak punya cukup uang untuk menyekolahkan Intan. Dia juga kecewa melihat respons suaminya ketika mendengar keinginannya untuk menyekolahkan anaknya. “Dia mah lempeng saja,” katanya setengah putus asa.

Siapa yang tahu sesungguhnya. Suami Teh Ida adalah anak pemilik warungku yang aku sewa Rp 12 juta per tahun. Sehari-hari dia menjadi sopir angkutan kota jurusan Kebon Kalapa – Ledeng. Menurut Teh Imas, penghasilan sopir angkot tidak bisa diandalkan. Tidak jarang sang suami hanya membawa uang Rp 15 ribu ketika tiba di rumah pada pukul 23.00. Dengan nada memelas, Teh Ida bilang belum punya uang untuk daftar sekolah dan membeli seragam. Dan, Teh Ida bukan satu-satunya tetanggaku. Di sekitarku ada belasan -mungkin puluhan- sopir angkutan kota. Kalau tidak “narik” angkot, mereka main catur dan gaple.

Keesokan harinya, Teh Imas kembali curhat. Tepatnya menyampaikan niatnya untuk meminjam uang Rp 150 ribu untuk biaya anak pertamanya -dari suami terdahulu- yang duduk di bangku SMP.

Bisa jadi, Orang Miskin (memang) Dilarang Sekolah, kata Eko Prasetyo dari Resist di Jogja.

«

8 thoughts on “Ari tak Mampu Beli Buku Tulis

  1. Abu Vaneisya says:

    Heeuh, Jib. Urang ge bingung. Komo di kampung urang. Loba anu nyakolakeun SD ge teu wanieun, sieun mahal cenah. Padahal SD mah gratis.

    Terus anu urang gereget mah, indung bapakna geus gagawe neangan duit jang sakola, eh budakna hayoooh ngabolos wae (muridna jikan di SMP & SMK).

    Mangkat ti imah, tapi ngadon bolos, mabok-mabokan di saung. Kapanggih ku Sakola, ditampilingan heula ku guru olahraga, saencan ahirna dikaluarkeun. Watir oge kolotna.

    Tong disebutkeun deui kasus kawas di Kembang mah loba.

  2. ahmadnajip says:

    si ari oge biaya sekolah mah gratis. tp buku, ongkos, jajan, dll mah teu bisa gratis. semoga ke depan alumni isola bisa melangkah lebih jauh, lebih riil.

  3. DharmaLubis says:

    seperti kata mas eko prasetyo dalam bukunya ‘orang miskin dilarang sekolah’ bahwa pemerintah hanya mencanangkan program ‘wajib belajar’ tetapi tidak ‘hak belajar’. hanya disuruh melaksanakan wajib belajar tidak mendapat segala hak dalam belajar.

  4. Seni says:

    Iya, fenomena seperti itu memang banyak terjadi. Jangan jauh-jauh, ayah ibuku saja kadang bersitegang karena uang sekolah adik-adikku. Uang renang, karya wisata, LKS, dan seribu satu macam penunjang lainnya mulai dari seragam, tas, sepatu, baju olah raga, wuih pokokna mah lieur jigana…

    BTW, judulnya Ari Tak Mampu Beli Buku, kan? bukan “Bulu”, Pak Najip?

  5. Abu Vaneisya says:

    Ihh, Seni mah ngan resep kanu bulu-bulu wae. Kade ahh Sen, enggal nikah geura. Resep ningali bulu-bulu.

  6. Seni says:

    k jun, klo udah nikah, otaknya jangan ngeres ghitu atuh. Kan udah ada Indri yang ngebersihin, hehe.. ya doakan aja dech biar aku cepat nikah.

  7. Lida says:

    Kemarin keponakannya Bima yang baru kelas 2 SD harus bayar buku pelajaran seharga Rp 500 ribu. Saya sempat bingung, memangnya kelas 2 SD belajar apa saja sampai bukunya semahal itu? Saya jadi mikir, orangtua zaman sekarang punya anak sebesar uprit saja sudah pusing, bagaimana kalau sudah waktunya masuk universitas? Wow!

    Ini ada anak yang nggak bisa beli buku tulis? Masyallah…

  8. bitra says:

    Bukannya sekarang e-book sudah mulai disosialisasikan? Setidaknya kalau memang benar, anak-anak bisa mem-fotokopi buku pelajarannya dari teman yang bisa mengunduh buku itu. Cuma, mungkin anak-anak juga harus belajar tidak gengsi membawa buku fotokopian.

Leave a reply to DharmaLubis Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.